Selasa, 30 April 2013

Fenomena sosial yang berkaitan dengan psikologi sosial pemerkosaan pada anak dibawah umur


Akhir-akhir ini publik digemparkan dengan berita kasus pemerkosaan anak di bawah umur. Salah satu yang cukup menggegerkan adalah kasus pemerkosaan terhadap seorang siswa kelas V SD (Sekolah Dasar) bernama Risa yang dilakukan oleh ayah kandungnya sendiri. Pada kasus ini, tindak pemerkosaan justru diketahui belakangan, di mana saat Risa dirawat di rumah sakit mengalami demam tinggi dan kejang. Ketika dokter akan memberi obat kejang melalui (maaf) anusnya, baru diketahui bahwa alat kelaminnya mengalami infeksi. Saking parahnya infeksi yang diderita bocah berusia 11 tahun tersebut, mengakibatkannya meninggal dunia. Kasus pemerkosaan ini cukup menguras emosi publik. Banyak yang bersimpati dan turut prihatin atas peristiwa yang menimpa bocah tersebut. Tidak sedikit orang mengecam bahkan menghujat si pelaku yang tak lain adalah ayah kandungnya sendiri sebagai binatang biadab. Orang tua yang seharusnya memberikan perlindungan, tetapi justru memberikan penderitaan yang berakhir pada kematian.
Satu lagi yang tak kalah menggemparkan yakni kasus pemerkosaan terhadap seorang siswa kelas V SD yang terjadi di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Menggegerkan dan memprihatinkan karena pelakunya tak lain adalah teman sekolahnya sendiri sebanyak 5 orang. Pelaku dan korban sama-sama masih bocah yang berusia sekitar 11 hingga 13 tahun, tentu saja masih tergolong sebagai anak di bawah umur. Bagaimana mungkin bocah yang ‘seharusnya’ masih polos bisa berkelakuan mesum seperti itu? Bagaimana bisa mereka memiliki pikiran cabul, bahkan merealisasikannya dengan memperkosa temannya sendiri? Apa yang menyebabkan hasrat seksual anak-anak tersebut muncul di usia yang terbilang sangat belia? Beberapa pertanyaan tersebut bisa saja muncul dalam benak setiap orang yang membaca berita kasus pemerkosaan ini di media massa atau melihatnya di televisi.
Masih banyak kasus pemerkosaan terhadap anak di bawah umur yang terjadi. Namun, tentunya tidak akan dijabarkan semuanya di sini. Dua kasus yang disebut di atas hanya merupakan contoh bahwa kekerasan seksual terhadap anak dapat dikatakan sudah masuk dalam taraf mengkhawatirkan. Maraknya kasus pemerkosaan terhadap anak di bawah umur seolah telah menjadi sebuah fenomena bahkan ‘tren’. Kasus demi kasus mulai terkuak ke publik, entah pelaku atau korbannya adalah anak di bawah umur. Sungguh miris dan memilukan. Sebenarnya, apa yang menjadi penyebab maraknya kasus pemerkosaan terhadap anak? Siapa yang patut disalahkan atas tindak kriminal yang merusak masa depan anak korban pemerkosaan?

Peredaran film porno tanpa batas

Film porno yang beredar bebas tanpa batas disinyalir menjadi penyebab utama atas maraknya tindak pemerkosaan terhadap anak, termasuk pula pelakunya yang masih terbilang belia. Tidak dapat dipungkiri bahwa era globalisasi berdampak pada kebebasan akses teknologi dan informasi, salah satunya melalui jagat maya alias internet yang memang tanpa batas. Siapapun bisa mengakses beragam informasi yang dibutuhkan dan diinginkan melalui internet tanpa mengenal batas usia, termasuk anak-anak. Oleh sebab itu, anak menjadi lebih mudah mengakses konten-konten yang tidak seharusnya mereka konsumsi, terutama konten porno baik gambar maupun video.
Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa perkembangan teknologi semakin pesat. Banyak gadget dijual di pasaran dengan fitur lengkap, tetapi harga terjangkau. Lihat saja perkembangan teknologi ponsel (telepon seluler). Dari yang awalnya hanya memiliki fungsi komunikasi, kini telah dilengkapi dengan fungsi multimedia. Artinya, sebuah ponsel saat ini tidak hanya dapat digunakan untuk telepon dan mengirim SMS (Short Message Service) saja, tetapi juga bisa digunakan untuk memainkan musik atau lagu dalam format MP3, mengambil gambar atau memotret, merekam dan memainkan video, serta masih banyak lagi fungsi lainnya. Dulu, ponsel dengan fitur lengkap dibandrol dengan harga yang cukup mahal, apalagi yang berjenis smartphone. Namun sekarang, harga ponsel termasuksmartphone bak kacang rebus, murah sehingga dapat dijangkau oleh semua kalangan. Ibaratnya dengan uang kurang dari Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) sudah bisa mendapatkan sebuah ponsel dengan model terbaru dan pastinya memiliki fitur lengkap, setidaknya bisa untuk komunikasi dan hiburan multimedia.
Lantas, apa kaitannya ponsel dengan kasus pemerkosaan terhadap anak di bawah umur yang kerap terjadi akhir-akhir ini? Keberadaan fitur multimedia di dalam ponsel memudahkan penyebaran konten-konten tidak senonoh terutama video porno. Sebagai barang yang bersifat personal, tentu keberadaan video porno di dalam ponsel dapat dinikmati kapan saja dan di mana saja, tanpa sepengetahuan orang lain. Celakanya, ponsel tidak hanya dipergunakan oleh orang dewasa saja, tetapi juga anak-anak. Jadi, tidak tertutup kemungkinan anak juga bisa menikmati video porno di ponselnya dengan mudah. Melihat video porno dalam intensitas yang sering, bisa membangkitkan libido tidak hanya pada orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Jika tidak ada pasangan yang sah untuk menyalurkan gairah seksual tersebut, akibatnya terjadilah pemerkosaan. Dalam konteks anak, mungkin gairah seksual yang muncul tidak setinggi orang dewasa, tetapi bisa jadi dipicu oleh rasa penasaran dan keinginan untuk mencoba, sehingga terjadilah tindak pemerkosaan oleh anak.
Dari mana anak memperoleh konten-konten yang mengandung unsur asusila termasuk video porno yang dapat merusak moralnya? Internet dan lingkungan pergaulan merupakan dua faktor yang patut diduga kuat sebagai sumber perolehan video porno. Melalui media ponsel, video porno dapat dengan mudah diakses dan dinikmati oleh anak-anak. Erotisme dan ekspresi yang disuguhkan dalam video porno tersebut merangsang libido anak, sehingga menimbulkan dorongan yang kuat untuk mencoba mempraktikkannya.
Diakui atau tidak, orang tua sebenarnya memiliki andil dalam peredaran film porno yang ditonton oleh anak. Hal ini memang tidak bisa digeneralisir, namun ada beberapa pasangan yang gemar menonton film porno untuk merangsang gairah seksualnya. Keberadaan film porno baik dalam format VCD ataupun DVD di dalam rumah kadang tidak disimpan di tempat tersembunyi, sehingga mudah dijangkau oleh anak.  Secara tidak sengaja, anak bisa menemukan dan menontonnya tentu tanpa sepengetahuan orang tua. Nah, di sinilah kelalaian orang tua. Saat orang tua sibuk di luar rumah, anak bisa dengan bebas melakukan apapun, termasuk menonton film porno.
Untuk mencegah peredaran konten porno lebih luas dan menghindari anak di bawah umur mengakses konten tersebut, sebenarnya pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) telah memblokir situs-situs porno yang beredar di dunia maya. Selain itu, Kemenkominfo juga menyediakan softwarekhusus yang diperuntukkan bagi para penyedia jasa warnet (warung internet) untuk memblokir konten-konten porno, sehingga tidak bisa lagi diakses dengan mudah. Namun, agaknya upaya pemerintah untuk menghalau penyebaran konten-konten yang berbau pornografi tersebut pada kenyataannya belum menunjukkan hasil maksimal. Buktinya, banyak masyarakat yang masih bisa dengan mudah memperoleh video-video porno baik melalui internet, VCD, DVD, ataupun ponsel.

Tinjauan psikologis

Maraknya kasus pemerkosaan dengan korban anak di bawah umur memang sungguh memilukan. Tindakan tersebut tidak hanya merusak masa depan korban, tetapi juga berpotensi mengganggu kejiwaan korban dan kehidupan sosialnya. Korban yang merasa dirinya telah ternoda mungkin tidak berani berbaur dengan lingkungan sosialnya, karena malu. Selain itu, gunjingan masyarakat sekitar bisa saja mengakibatkan korban semakin terpuruk. Jika hal ini berlangsung terus-menerus tanpa ada dukungan yang memicu keberanian korban untuk tampil kembali di depan publik, tidak tertutup kemungkinan korban justru akan mengalami gangguan kejiwaan sehingga mengakibatkannya depresi. Apa akibatnya lebih lanjut? Korban akan mengambil jalan pintas untuk mengakhiri penderitaannya, yakni dengan bunuh diri.
Dari sudut pandang psikologis, pemerkosaan terhadap anak di bawah umur umumnya dilakukan oleh orang terdekat, bisa keluarga baik itu ayah, paman, kakak, ataupun teman-temannya. Pelaku diduga mengalami depresi dengan kehidupannya sendiri. Kondisi tersebut menyebabkan pelaku mengalami penyimpangan sosial sehingga melampiaskannya kepada orang-orang terdekat. Oleh sebab itu, banyak ditemukan kasus-kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh kakak, paman, bahkan ayah kandung sendiri.
Keretakan hubungan rumah tangga yang memicu terjadinya perceraian juga ambil bagian dalam maraknya kasus pemerkosaan terhadap anak. Mengapa? Perceraian memunculkan ayah tiri yang notabene pengganti peran ayah kandung, tetapi justru menjadi perusak masa depan anak. Hal ini memang tidak bisa dipukul rata, dalam arti tidak semua ayah tiri identik dengan pelaku pemerkosaan. Namun, kebanyakan kasus pemerkosaan terhadap anak dilakukan oleh ayah tiri. Alasan yang dikemukakan beragam, ada yang tidak puas dengan ‘sang ibu’, ibu yang terlalu sibuk bekerja sehingga tidak bisa melayani ‘sang ayah’, khilaf, dan fedofilia. Fedofilia dapat dipahami sebagai suatu gangguan psikoseksual di mana orang dewasa menyukai anak-anak secara seksual. Dengan kata lain, orang dewasa mengalami kepuasan seksual bersama dengan anak di bawah umur.  
Patuh kepada orang tua memang merupakan kewajiban seorang anak. Namun, kepatuhan ini sering kali dimanfaatkan orang tua untuk mengintimidasi anak. Artinya, dengan dalih kepatuhan seolah orang tua memiliki hak sepenuhnya terhadap anak, termasuk dalam hal seksual. Anak yang masih polos dipaksa melayani dan memuaskan hawa nafsu ‘sang ayah’ karena didogma bahwa anak harus patuh pada orang tua. Dogma kepatuhan yang ditelan secara bulat-bulat oleh anak inilah yang menjadikannya tidak berani untuk mengadu atau bahkan sekadar bercerita kepada ibunya. Selain dogma kepatuhan yang sesat, anak juga tidak jarang diancam atau diiming-imingi sesuatu agar tetap tutup mulut. Di sini ada pertentangan antara kepatuhan dengan ketakutan yang dirasakan oleh anak. Jika anak buka mulut atas tindak pemerkosaan yang dialaminya, maka ia takut dianggap sebagai anak yang tidak patuh kepada orang tuanya. Di sisi lain, apabila anak terus menuruti kehendak bejat ‘sang ayah’, ia akan merasa tertekan dan mengalami ketidaknyamanan yang luar biasa. Semua itu akan bermuara pada gangguan perkembangan anak secara psikologis.

Peran orang tua dan masyarakat

Setiap orang tua pasti tidak menginginkan anaknya menjadi korban pemerkosaan baik oleh orang terdekat, teman, ataupun orang lain. Jika memang demikian, orang tua harus berperan dalam mendampingi dan memantau anak, tidak hanya perilaku tetapi juga lingkungan pergaulannya. Orang tua dituntut untuk senantiasa sadar atas setiap perubahan perilaku sang anak. Sebagai contoh, anak yang terbiasa riang dan senantiasa menikmati saat-saat berkumpul dengan keluarga, tiba-tiba berubah pendiam dan senang menyendiri. Di sini orang tua perlu menyelidiki penyebab perubahan sikap anak tersebut. Dikhawatirkan perubahan tersebut dipicu oleh tekanan lingkungan pergaulan atau justru keasyikan menonton video porno melalui ponselnya, sehingga ia mencuri-curi waktu untuk bisa menyendiri.
Tak dapat dipungkiri bahwa ponsel memiliki fungsi yang penting. Berkenaan dengan hal tersebut, saat ini banyak orang tua yang memberikan fasilitas ponsel kepada anaknya. Tujuan sederhana yakni untuk memudahkan komunikasi antara orang tua dengan anak, di mana orang tua bisa memantau keberadaan anak kapan saja. Sayangnya, pemberian fasilitas ponsel tersebut kurang didukung dengan pengawasan yang ketat. Artinya, orang tua jarang atau bahkan tidak pernah mengecek konten yang tersimpan dalam memori ponsel anaknya. Orang tua terlalu percaya pada kepolosan anak, sehingga tidak berpikir bahwa anak bisa menyimpan konten-konten porno karena pengaruh lingkungan pergaulannya.
Kesibukan orang tua bekerja disinyalir juga menyebabkan kurangnya perhatian kepada anak. Banyak orang tua berpikir bahwa selama anak merasa senang, maka semua dalam keadaan baik-baik saja. Kurangnya perhatian orang tua mendorong anak untuk mencari perhatian dari luar keluarga. Hal ini justru membahayakan, karena bisa saja anak terjerumus dalam lingkungan pergaulan yang tidak baik. Untuk mengantisipasi hal tersebut, sesibuk apapun orang tua sebaiknya tetap meluangkan waktu guna memperhatikan anak. Selain mempererat hubungan keluarga, perhatian orang tua kepada anak juga dapat meminimalisir munculnya pengaruh-pengaruh buruk dari lingkungan luar.
Berkenaan dengan pemberian fasilitas ponsel atau gadget lainnya seperti PC tablet,netbook, atau notebook kepada anak sebenarnya sah-sah saja, asal tetap dalam pantauan orang tua. Orang tua juga harus lebih bijaksana dalam memberikan fasilitas kepada anak. Sebatas fasilitas tersebut bermanfaat untuk menunjang proses belajarnya, silakan saja, namun lagi-lagi penggunaannya harus tetap dalam pengawasan orang tua. Untuk mengantisipasi peredaran video porno dalam ponsel anak, orang tua bisa memberikan fasilitas ponsel dengan fitur terbatas, tanpa dilengkapi dengan multimedia dan jaringan internet. Meskipun demikian, anak tetap diperkenankan untuk mengakses layanan multimedia dan internet, tetapi melalui media lain yang tersedia di rumah, sehingga orang tua bisa mengawasi penggunaannya. Jadi, pemberian fasilitas secara bijak kepada anak bisa meminimalisir bahkan menghindari kemungkinan terjadinya tindak pemerkosaan pada dan oleh anak.
Lantas, apa peran masyarakat dalam mencegah tindak pemerkosaan terhadap anak di bawah umur? Kasus pemerkosaan terhadap anak yang bagai fenomena gunung es ini mencerminkan lemahnya kontrol sosial masyarakat. Jiwa kebersamaan dan gotong royong dalam masyarakat Indonesia yang dulu dielu-elukan seolah sirna, berubah menjadi masyarakat yang individualis. Masyarakat cenderung tidak lagi mempedulikan lingkungan sekitar. Semua asyik dengan urusan dan kepentingannya sendiri. Jika terjadi suatu penyimpangan di lingkungan sekitarnya, masyarakat justru tutup mata seolah tidak melihat dan bisu karena tidak mau menegur pelaku penyimpangan tersebut. Contohnya, orang tua yang ‘menyekap’ anaknya dan melarangnya bermain dan bersosialisasi dengan tetangga sebenarnya sudah mengarah pada bentuk penyimpangan perilaku sosial. Atas penyimpangan ini, masyarakat sekitar tidak mau menegur, karena merasa hal itu bukan merupakan urusannya. Dengan lemahnya kontrol sosial ini menjadikan masyarakat tidak bisa mencegah terjadinya tindak penyimpangan lainnya, seperti pemerkosaan atau kekerasan dalam rumah tangga.

Jumat, 26 April 2013

TUGAS 2 A. PENYESUAIAN DIRI DAN B. STRESS


A. Penyesuaian diri
1.      Pengertian Penyesuaian diri adalah suatu konstruksi/bangunan psikologi yang luas dan komplek, serta melibatkan semua reaksi individu terhadap tuntutan baik dari lingkungan luar maupun dari dalam diri individu itu sendiri. Dengan perkataan lain, masalah penyesuaian diri menyangkut aspek kepribadian individu dalam interaksinya dengan lingkungan dalam dan luar dirinya (Desmita, 2009:191).
2.      Konsep penyesuaian diri
Penyesuaian dapat diartikan atau dideskripsikan sebagai adaptasi dapat mempertahankan eksistensinya atau bisa survive dan memperoleh kesejahteraan jasmaniah dan rohaniah, dan dapat mengadakan relasi yang memuaskan dengan tuntutan sosial. Penyesuaian dapat juga diartikan sebagai konformitas, yang berarti menyesuaikan sesuatu dengan standar atau prinsip. Penyesuaian sebagai penguasaan, yaitu memiliki kemampuan untuk membuat rencana dan mengorganisasi respons-respons sedemikian rupa, sehingga bisa mengatasi segala macam konflik, kesulitan, dan frustrasi-frustrasi secara efisien.
Individu memiliki kemampuan menghadapi realitas hidup dengan cara yang memenuhi syarat. Penyesuaian sebagai penguasaan dan kematangan emosional. Kematangan emosional maksudnya ialah secara positif memiliki responss emosional yang tepat pada setiap situasi. Disimpulkan bahwa penyesuaian adalah usaha manusia untuk mencapai keharmonisan pada diri sendiri dan pada lingkungannya.
3.      Pertumbuhan personal
Pertumbuhan kepribadian ditingkatkan oleh banyaknya minat  terhadap pekerjaan dan kegemaran. Sulit menyesuaikan diri dengan baik terhadap tuntutan-tuntutan pekerjaan yang tidak menarik dan membosankan, dan segera pekerjaan itu menjadi hal yang tidak menyenangkan atau menjijikkan. Tetpi, kita memiliki cara tertentu untuk mengubah dan mengganti pekerjaan yang merangsang minat kita sehingga kita dapat memperoleh kepuasan terus-menerus dalam pekerjaan. Pertumbuhan pribadi tergantung juga pada skala nilai yang adekuat dan tujuan yang ditetapkan dengan baik, kriteria yang selalu dapat digunakan seseorang untuk menilai penyesuaian diri. Skala nilai atau filsafat hidup adalah seperangkat ide, kebenaran, keyakinan, dan prinsip membimbing seseorang dalam berpikir, bersikap, dan dalam berhubungan dengan diri sendiri dan orang lain dalam memandang kenyataan dan dalam tingkah laku sosial, moral dan agama. Seperangkat nilai inilah yang akan menentukan apakah kenyataan itu besifat mengancam, bermusuhan, sangat kuat, atau tidak patut menyesuaikan diri dengannya. Penyesuaian diri memerlukan penanganan yang efektif terhadap masalah dan stress yang terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari, dan pemecahan masalah dan stress itu akan ditentukan oleh nilai-nilai yang kita bawa berkenaan dengan situasi itu. kita seringkali mendengar orang-orang menjadi berantakan dan dengan demikian mendapat gangguan emosi dan tidak bahagia. Orang-orang tersebut tidak yakin mengenai hal yang baik atau buruk, benar atau salahh, bernilai atau tidak bernilai. Mereka tidak memiliki pengetahuan, nilai, atau prinsip yang akan menyanggupi mereka untuk mereduksikan kebimbangan atau konflik yang secara emosional sangat menganggu.
a.      Penekanan pertumbuhan penyesuaian diri dan pertumbuhan.
Pertumbuhan adalah perubahan secara fisiologis sebagai hasil dariproses pematangan fungsi-fungsi fisik yang berlangsung secara normal padaanak yang sehat pada waktu yang normal. Pertumbuhan dapat juga diartikansebagai proses transmisi dari konstitusi fisik (keadaan tubuh atau keadaanjasmaniah) yang herediter dalam bentuk proses aktif secaraberkesinambungan. Jadi, pertumbuhan berkaitan dengan perubahan kuantitatifyang menyangkut peningkatan ukuran dan struktur biologis.
Secara umum konsep perkembangan dikemukakan oleh Werner (1957)bahwa perkembangan berjalan dengan prinsip orthogenetis, perkembangan berlangsung dari keadaan global dan kurang berdiferensiasi sampai keadaan di mana diferensiasi, artikulasi, dan integrasi meningkat secara bertahap. Proses diferensiasi diartikan sebagai prinsip totalitas pada diri anak. Dari penghayatan totalitas itu lambat laun bagian-bagiannya akan menjadi semakin nyata dan bertambah jelas dalam kerangka keseluruhan.
b.      Variasi dalam pertumbuhan
Tidak selamanya individu berhasil dalam melakukan penyesuaian diri, karena kadang-kadang ada rintangan-rintangan tertentu yang menyebabkan tidak berhasil melakukan penyesuaian diri. Rintangan-rintangan itu mungkin terdapat dalam dirinya atau mungkin diluar dirinya.
c.       Kondisi-kondisi untuk bertumbuh
Kondisi jasmaniah seperti pembawa dan strukrur atau konstitusi fisik dan temperamen sebagai disposisi yang diwariskan, aspek perkembanganya secara intrinsik berkaitan erat dengan susunan atau konstitusi tubuh. Shekdon mengemukakan bahwa terdapat kolerasi yang tinggi antara tipe-tipe bentuk tubuh dan tipe-tipe tempramen (Surya, 1977). Misalnya orang yang tergolong ekstomorf yaitu yang ototnya lemah, tubuhnya rapuh, ditandai dengan sifat-sifat menahan diri, segan dalam aktivitas sosial, dan pemilu. Karena struktur jasmaniah merupakan kondisi primer bagi tingkah laku maka dapat diperkirakan bahwa sistem saraf, kelenjar, dan otot merupakan faktor yang penting bagi proses penyesuaian diri. Beberapa penelitian menunjukan bahwa gangguan dalam sisitem saraf, kelenjar, dan otot dapat menimbulkan gejala-gejala gangguan mental, tingkah laku, dan kepribadian. Dengan demikian, kondisi sistem tubuh yang baik merupakan syaraf bagi tercapainya proses penyesuaian diri yang baik. Disamping itu, kesehatan dan penyakit jasmaniah juga berhubungan dengan penyesuaian diri, kualitas penyesuaian diri yang baik hanya dapat diperoleh dan dipelihara dalam kondisi kesehatan jasmaniah yang baik pula. Ini berarti bahwa gangguan penyakit jasmaniah yang diderita oleh seseorang akan mengganggu proses penyesuaian dirinya.
d.      Fenomenologi pertumbuhan
Fenomenologi memandang manusia hidup dalam “dunia kehidupan” yang dipersepsi dan diinterpretasi secara subyektif. Setiap, orang mengalami dunia dengan caranya sendiri. “Alam pengalaman setia orang berbeda dari alam pengalaman orang lain.” (Brouwer, 1983:14 Fenomenologi banyak mempengaruhi tulisan-tulisan Carl Rogers, yang boleh disebut sebagai-_Bapak Psikologi Humanistik. Carl Rogers menggarisbesarkan pandangan Humanisme sebagai berikut (kita pinjam dengan sedikit perubahan dari Coleman dan Hammen, 1974:33)
B.  Stress
1.     Apa itu stress? Efek-efek dari stress “General Adaption Syndrom” menurut Hans Selye
Stress adalah bentuk ketegangan dari fisik, psikis, emosi maupun mental. Bentuk ketegangan ini mempengaruhi kinerja keseharian seseorang. Bahkan stress dapat membuat produktivitas menurun, rasa sakit dan gangguan-gangguan mental. Pada dasarnya, stress adalah sebuah bentuk ketegangan, baik fisik maupun mental. Sumber stress disebut dengan stressor dan ketegangan yang di akibatkan karena stress, disebut strain.
Menurut Hans Selye
Tahap peringatan (Alarm Stage) : Tahap reaksi awal tubuh dalam menghadapi berbagai stressor. Tubuh tidak dapat bertahan pada tahapan ini dalam jangka waktu lama.
Tahap Adaptasi atau Eustres (Adaptation Stage) : Tahap dimana tubuh mulai beradaptasi dengan adanya stres dan berusaha mengatasi serta membatasi stresor. Ketidakmampuan tubuh beradaptasi mengakibatkan tubuh menjadi rentan terhadap penyakit.
Tahap Kelelahan atau distres (Exhaution Stage) : Tahap dimana adaptasi tidak dapat dipertahankan karena stres yang berulang atau berkepanjangan sehingga berdampak pada seluruh tubuh
Efek lain seperti efek fisiologis dari stres pada tubuh meliputi: Nyeri dada, Insomnia atau tidur masalah, Nyeri kepala Konstan, Hipertensi, Tukak
Stres dikatakan menjadi sebuah faktor penunjang untuk produksi suatu penyakit tertentu, atau mungkin menjadi penyebab respon perilaku negatif, seperti merokok, minum alkohol dan penyalahgunaan narkoba yang semuanya dapat membuat kita rentan terhadap penyakit. Hal buruk dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh, sehingga menyebabkan tubuh kita menjadi kurang tahan terhadap sejumlah masalah kesehatan. id.prmob.net › Stres › Kesehatan › Hans Selye
2.     Faktor-faktor individual dan sosial yang menjadi penyebab stress.
Sumber Stres (Stressor): Sumber stres adalah semua kondisi stimulasi yang berbahaya dan menghasilkan reaksi stres, misalnya jumlah semua respons fisiologis nonspesifik yang menyebabkan kerusakan dalam sistem biologis. Stress reaction acute (reaksi stres akut) adalah gangguan sementara yang muncul pada seorang individu tanpa adanya gangguan mental lain yang jelas, terjadi akibat stres fisik dan atau mental yang sangat berat, biasanya mereda dalam beberapa jam atau hari. Kerentanan dan kemampuan koping (coping capacity) seseorang memainkan peranan dalam terjadinya reaksi stres akut dan keparahannya (Sunaryo, 2002). Menurut Selye dalam menggolongkan stres menjadi dua golongan yang didasarkan atas persepsi individu terhadap stres yang dialaminya (Rice, 1992), yaitu :
-          Distress( stres negatif): Merupakan stres yang merusak atau bersifat tidak menyenangkan. Stres dirasakan sebagai suatu keadaan dimana individu mengalami rasa cemas, ketakutan, khawatir atau gelisah. Sehingga individu mengalami keadaan psikologis yang negatif, menyakitkan dan timbul keinginan untuk menghindarinya.
-          Eustress (stres positif): Eustress bersifat menyenangkan dan merupakan pengalaman yang memuaskan, frase joy of stress untuk mengungkapkan hal-hal yang bersifat positif yang timbul dari adanya stres. Eustress dapat meningkatkan kesiagaan mental, kewaspadaan, kognisi dan performansi kehidupan. Eustress juga dapat meningkatkan motivasi individu untuk menciptakan sesuatu, misalnya menciptakan karya seni.
Faktor individual penyebab stress: Stress muncul dalam diri seseorang melalui penilaian dari kekuatan motivasional yang melawan,bila seseorang mengalami konflik. Konflik inilah yang merupakan sumber stress yang utama.
Faktor sosial penyebab stress: Stress juga dapat bersumber dari interaksi individu dengan lingkungan sosialnya. Perselisihan dalam hubungan seperti masalah keuangan, saling acuh tak acuh dan tujuan yang saling berbeda, dapat menimbulkan tekanan ke dalam diri yang menyebabkan individu mengalami stress. Pengalaman stress yang umum misalnya, bersumber dari pekerjaan , khususnya (occupational stress” yang telah diteliti secara luas.
3.     Tipe-tipe stress psikologi
a.       Tekanan: Kita dapat mengalami tekanan dari dalam maupun luar diri, atau keduanya. Ambisi personal bersumber dari dalam, tetapi kadang dikuatkan oleh harapan-harapan dari pihak di luar diri.
b.      Frustasi: Frustrasi terjadi ketika motif atau tujuan kita mengalami hambatan dalam pencapaiannya.
-Bila kita telah berjuang keras dan gagal, kita mengalami frustrasi.
-Bila kita dalam keadaan terdesak dan terburu-buru, kemudian terhambat untuk melakukan sesuatu (misal jalanan macet) kita juga dapat merasa frustrasi.
-Bila kita sangat memerlukan sesuatu (misalnya lapar dan butuh makanan), dan sesuatu itu tidak dapat diperoleh, kita juga mengalami frustrasi.
c.       Konflik
Konflik terjadi ketika kita berada di bawah tekanan untuk berespon simultan terhadap dua atau lebih kekuatan-kekuatan yang berlawanan.
-Konflik menjauh-menjauh: individu terjerat pada dua pilihan yang sama-sama tidak disukai. Misalnya seorang pelajar yang sangat malas belajar, tetapi juga enggan mendapat nilai buruk, apalagi sampai tidak naik kelas.
-Konflik mendekat-mendekat. Individu terjerat pada dua pilihan yang sama-sama diinginkannya. Misalnya, ada suatu acara seminar sangat menarik untuk diikuti, tetapi pada saat sama juga ada film sangat menarik untuk ditonton.
-Konflik mendekat-menjauh. Terjadi ketika individu terjerat dalam situasi di mana ia tertarik sekaligus ingin menghindar dari situasi tertentu. Ini adalah bentuk konflik yang paling sering dihadapi dalam kehidupan sehari-hari, sekaligus lebih sulit diselesaikan. Misalnya ketika pasangan berpikir tentang apakah akan segera memiliki anak atau tidak. Memiliki anak sangat diinginkan karena pasangan dapat belajar menjadi orang dewasa yang sungguh-sungguh bertanggungjawab atas makhluk kecil yang sepenuhnya tak berdaya. Di sisi lain, ada tuntutan finansial, waktu, kemungkinan kehadiran anak akan mengganggu relasi suami-istri, dan lain sebagainya.
d.      Kecemasan
Khawatir, gelisah, takut dan perasaan semacamnya itu merupakan suatu tanda atau sinyal seseorang mengalami kecemasan. Biasanya kecemasan di timbulkan karena adanya rasa kurang nyaman, rasa tidak aman atau merasa terancam pada dirinya.
4.     Symptom reducing responses terhadap stress, mekanisme pertahanan diri dan strategi coping untuk mengatasi stress “minor”
1.        Menghilangkan stres mekanisme pertahanan, dan penanganan yang berfokus pada masalah
Menurut Lazarus penanganan stres atau coping terdiri dari dua bentuk, yaitu :
a.    Coping yang berfokus pada masalah (problem-focused coping) adalah istilah Lazarus untuk strategi kognitif untuk penanganan stres atau coping yang digunakan oleh individu yang menghadapi masalahnya dan berusaha menyelesaikannya.
b.    Coping yang berfokus pada emosi (problem-focused coping)adalah istilah Lazarus untuk strategi penanganan stres dimana individu memberikan respon terhadap situasi stres dengan cara emosional, terutama dengan menggunakan penilaian defensif.
2.    Strategi penanganan stres dengan mendekat dan menghindar:
a.    strategi mendekati (approach strategies) meliputi usaha kognitif untuk memahami penyebab stres dan usaha untuk menghadapi penyebab stres tersebut dengan cara menghadapi penyebab stres tersebut atau konsekuensi yang ditimbulkannya secara langsung
b.    strategi menghindar (avoidance strategies) meliputi usaha kognitif untuk menyangkal atau meminimalisasikan penyebab stres dan usaha yang muncul dalam tingkah laku, untuk menarik diri atau menghindar dari penyebab stress
3.    Berpikir positif dan self-efficacy
Menurut Bandura self-efficacy adalah sikap optimis yang memberikan perasaan dapat mengendalikan lingkungannya sendiri. Menurut model realitas kenyataan dan khayalan diri yang dikemukan oleh Baumeister, individu dengan penyesuaian diri yang terbaik seringkali memiliki khayalan tentang diri mereka sendiri yang sedikit di atas rata-rata. Memiliki pendapat yang terlalu dibesar-besarkan mengenai diri sendiri atau berpikir terlalu negatif mengenai diri sendiri dapat mengakibatkan konsekuensi yang negatif. Bagi beberapa orang, melihat segala sesuatu dengan terlalu cermat dapat mengakibatkan merasa tertekan. Secara keseluruhan, dalam kebanyakan situasi, orientasi yang berdasar pada kenyataan atau khayalan yang sedikit di atas rata-rata dapat menjadi yang paling efektif .
4.    Sistem dukungan
Menurut East, Gottlieb, O’Brien, Seiffge-Krenke, Youniss & Smollar,keterikatan yang dekat dan positif dengan orang lain – terutama dengan keluarga dan teman – secara konsisten ditemukan sebagai pertahanan yang baik terhadap stres.
5.     Pendekatan problem solving terhadap stress bagaimana meningkatkan toleransi stress.
Salah satu cara dalam menangani stres yaitu menggunakan metode Biofeedback, tekhniknya adalah mengetahui bagian-bagian tubuh mana yang terkena stres kemudian belajar untuk menguasainya. Teknik ini menggunakan serangkaian alat yang sangat rumit sebagai feedback.
Melakukan sugesti untuk diri sendiri, juga dapat lebih efektif karena kita tahu bagaimana keadaan diri kita sendiri. Berikan sugesti-sugesti yang positif, semoga cara ini akan berhasil ditambah dengan pendekatan secara spiritual (mengarah kepada Tuhan).
·Meningkatkan Toleransi Stress dan Pendekatan Berorientasi terhadap Tugas
Meningkatkan toleransi terhadap stres, dengan cara meningkatkan keterampilan/kemampuan diri sendiri, baik secara fisik maupun psikis, misalnya, Secara psikis: menyadarkan diri sendiri bahwa stres memang selalu ada dalam setiap aspek kehidupan dan dialami oleh setiap orang, walaupun dalam bentuk dan intensitas yang berbeda. Secara fisik: mengkonsumsi makanan dan minuman yang cukup gizi, menonton acara-acara hiburan di televisi, berolahraga secara teratur, melakukan tai chi, yoga, relaksasi otot, dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA

Siswanto. 2007. Kesehatan Mental; Konsep, Cakupan, dan Perkembangannya. Yogyakarta: Andi Sunaryo. 2002. 
Psikologi untuk keperawatan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC
Halgin, R.P., Whitbourne, S.K. 2010. Psikologi abnormal. Jakarta: Salemba Humanika
Anonim. 1999. Manajemen stres. Jakarta: Buku Kedokteran EGC